Raden Ajeng Kartini Meninggal Pada Usia
Dipingit di Usia Muda
Foto: Sejarah Raden Ajeng Kartini yang Dipingit (Orami Photo Stock)
Sosok Kartini juga digambarkan sebagai seorang perempuan yang memiliki kegemaran dalam belajar.
Meski pernah didiskriminasi saat sekolah, Kartini tetap rajin membaca buku dan mempelajari berbagai bahasa asing.
Sayangnya, ia pada saat itu hanya boleh menempuh pendidikan sampai sekolah dasar.
Hal ini lantaran ia dipingit oleh Raden Adipati Joyodiningrat pada 12 November 1903.
Ia kehilangan masa kecilnya dan menghabiskan waktu di rumah dalam beberapa waktu lamanya.
Baca Juga: Museum Sepuluh Nopember, Wisata Sejarah Kenang Jasa Pahlawan
Pernahkah Moms mengunjungi museum Kartini? Lokasi sejarah Raden Ajeng Kartini ini tepatnya di Desa...
Oleh MC Kab. Mempawah, Kamis, 27 April 2017 | 08:53 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 2K
Mempawah,InfoPublik – Lebih dari seabad lalu, Raden Ajeng Kartini wafat karena komplikasi saat melahirkan anak pertama.Salah satu pemicunya adalah preeklamsia, yang hingga kini masih menjadi penyebab utama kematian ibu hamil di samping infeksi dan pendarahan.
Terbatasnya teknologi medis saat itu membuat pahlawan nasional asal Jepara ini meninggal muda di usia 25 tahun. “Ironisnya, hingga kini Angka Kematian Ibu atau AKI ternyata terhitung masih tinggi padahal kondisi teknologi dan ilmu pengetahuan makin berkembang,” kata Sekretaris Daerah Mochrizal di sela Peringatan Hari Kartini di Aula Kantor Bupati Mempawah, akhir pekan lalu.
Mochrizal menyebut derajat kesehatan keluarga sangat ditentukan oleh kondisi hidup sehat seorang ibu. Ia menuturkan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan ibu nifas adalah masa yang sangat penting untuk menentukan mutu kesehatan ibu dan anak selanjutnya. “Masa-masa tersebut merupakan masa yang rentan bagi para ibu dan dapat mempengaruhi tumbuh-kembang anak,” ujarnya.
Menurutnya, ketika seorang anak terlahir ke dunia, apakah anak tersebut akan menjadi anak yang sehat atau anak yang rentan terhadap penyakit sangat ditentukan oleh kesehatan ibu pada masa-masa kehamilan dan berlanjut saat menyusui.
Karena itu, ia menyebut sehat mulai dari janin dalam kandungan, anak balita, remaja, dewasa, dan lanjut usia juga perlu diupayakan. Hal itu mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai keadaan sehat. Mochrizal menegaskan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya tidak mungkin dicapai hanya oleh sektor kesehatan. “Karena kesehatan bersifat multidimensi, multidisiplin, dan multisektor sehingga pembangunan kesehatan memerlukan dukungan berbagai sektor terutama dari keluarga,” tuturnya.
Keluarga, Mochrizal meneruskan, merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang menyediakan kebutuhan seluruh anggotanya. Seperti pendidikan dan budi pekerti, kasih sayang, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.
“Artinya keluarga merupakan fundamental bagi pembangunan manusia sekaligus barometer kesejahteraan masyarakat pada umumnya,” ucapnya menerangkan. (MC.Mempawah/Rio/Eyv)
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber infopublik.id
Raden Ajeng Kartini merupakan pelopor emansipasi perempuan Indonesia. Ia yakin bahwa kaum perempuan diciptakan sama dengan kaum laki-laki dan hanya berbeda dalam bentuk fisik. Maka Kartini berpendapat bahwa pendidikan tidak perlu menjadi hak istimewa kaum pria. Selain itu ia juga memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih baik bagi rakyat jelata pada umumnya.
Kartini memang sosok yang gigih dalam memperjuangkan hak perempuan. Bahkan, kisah R.A. Kartini banyak diabadikan dalam buku-buku sejarah. Berikut ini informasi penting tentang Raden Ajeng Kartini yang perlu kamu tahu.
Opened School for Girls
Rather than remaining submissive and compliant, like a good Javanese daughter, the unconventional Kartini often had disagreements with her father, and it is believed that her family was, consequently, eager to marry her off. On November 8, 1903, she obeyed her father and married Raden Adipati Joyoadiningrat, the regent of Rembang. Joyoadiningrat was a wealthy man of age 50 who already had three wives and a dozen children. Kartini—who was, at 24 years of age, considered too old to marry well—found herself a victim of polygamy. She was devastated by the marriage, which ended her dream of studying abroad just as she was awarded a scholarship to study in Europe.
Despite the marriage, in 1903 Kartini was able to take a first step toward achieving women's equality by opening a school for girls. With aid from the Dutch government Kartini established the first primary school in Indonesia especially for native girls regardless of their social standing. The small school, which was located inside her father's house, taught children and young women to read and make handicrafts, dispensed Western-style education, and provided moral instruction. At this time, Kartini also published the paper "Teach the Javanese."
Kartini's enthusiasm at educating Indonesian girls was short lived. On September 17, 1904, at the age of 25, she died while giving birth to her son. Kartini is buried near a mosque in Mantingan, south of Rembang.
Fakta-Fakta Sejarah Raden Ajeng Kartini
Foto: Ibu Kartini (Orami Photo Stock)
Bukan sekadar perayaan, Hari Kartini dikenal sebagai upaya mengenal sejarah Raden Ajeng Kartini yang menginspirasi banyak orang, khususnya wanita.
Berikut beberapa poin dan fakta penting terkait sejarah Raden Ajeng Kartini yang perlu diketahui, antara lain:
Educated at Dutch Schools
As a child, Kartini was very active, playing and climbing trees. She earned the nickname "little bird" because of her constant flitting around. A man of some modern attitudes, her father allowed her to attend Dutch elementary school along with her brothers. The Dutch had colonized Java and established schools open only to Europeans and to sons of wealthy Javanese. Due to the advantages of her birth and her intellectual inclination, Kartini became one of the first native women allowed to learn to read and write in Dutch.
Despite her father's permission to allow her a primary education, by Islamic custom and a Javanese tradition known as pingit, all girls, including Kartini, were forced to leave school at age 12 and stay home to learn homemaking skills. At this point, Kartini would have to wait for a man to ask for her hand in marriage. Even her status among the upper class could not save her from this tradition of discrimination against women; marriage was expected of her. For Kartini, the only escape from this traditional mode of life was to become an independent woman.
Biografi Raden Ajeng Kartini
Foto: Biografi Raden Ajeng Kartini (Biografi.kamikamu.co.id)
Sejarah Raden Ajeng Kartini dimulai ketika dirinya berusia muda.
Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai seorang aktivis Indonesia. Beliau mendukung hak-hak dan pendidikan tinggi perempuan.
Dikenal juga sebagai Raden Ayu Kartini, ia lahir pada 21 April 1879 di Jepara Kota Jawa Tengah.
Beliau sering dicap sebagai pelopor kebangkitan perempuan tanah air hingga saat ini.
Ada berbagai riwayat pekerjaan yang ia lakukan semasa hidupnya, khususnya dalam mendukung hak privat perempuan.
Kegigihan yang ia miliki menjadi salah satu bentuk yang diteladani bangsa Indonesia sampai detik ini.
Inilah sebabnya setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini.
Baca Juga: 5 Contoh Teks Biografi Pahlawan, Lengkap dengan Struktur!
Pendiri Sekolah dan Tempat Kerajinan Kayu
Tahukah Moms? Fakta sejarah Raden Ajeng Kartini lainnya ini juga tak kalah menarik.
Ia pernah mendirikan sebuah kerajinan ukir kayu untuk para pemuda di Rembang, Jawa Tengah.
Riwayat pekerjaan yang ia lakukan menjadi salah satu penghasil perekonomian di Kabupaten Jepara dan Rembang.
Tak sampai di situ, di usia yang sangat muda ia mendirikan sebuah sekolah untuk para perempuan dalam menempuh pendidikan.
Bagi Kartini, pendidikan bagi perempuan muda adalah untuk mendorong pemberdayaan dan pencerahan hidup.
Pelopor Kesetaraan Gender
Foto: Ilustrasi Ibu dan Anak (Orami Photo Stock)
Sejarah Raden Ajeng Kartini yang tak kalah menarik adalah niat baik untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Kesetaraan gender ini ia gaungkan sebagai bentuk ketidakadilan pada kaum perempuan pribumi.
Dalam suratnya, ia memprotes tradisi kawin paksa di usia muda yang menghalangi perempuan melanjutkan pendidikan.
Berkat usaha gigihnya, saat ini undang-undang Negara Indonesia menjanjikan kesetaraan gender bagi seluruh bangsa.
Moms pun berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, lho!
Baca Juga: 15+ Penyebab Bintik Merah pada Bayi dan Cara Mengatasinya!
Letters Ultimately Published
Kartini's legacy is found in the many letters she wrote to friends in Holland. In 1911 a collection of her Dutch letters was published posthumously, first in Java and then in Holland as Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javanese Volk ("From Darkness to Light: Thoughts about and on Behalf of the Javanese People"). The book was then translated into several languages, including French, Arabic, and Russian, and in 1920 was translated by Agnes Louis Symmers into English as Letters of a Javanese Princess. In 1922 Armijn Pane finally translated the book into the Javanese language under the title Habis Gelap Terbitlah Terang ("After Darkness, Light Is Born"), which he based on a verse found in both the Bible and the Qur'an in which God calls people out of the darkness and into the light. More recently, Kartini's granddaughter, Professor Haryati Soebadio, re-translated the letters and published them as Dari Gelap Menuju Cahaya, meaning "From Darkness into Light."
Kartini's letters spurred her nation's enthusiasm for nationalism and garnered sympathy abroad for the plight of Javanese women. Syrian writer Aleyech Thouk translated From Darkness into Light into Arabic for use in her country, and in her native Java Kartini's writings were used by a group trying to gain support for the country's Ethical Policy movement, which had been losing popularity. Many of Kartini's admirers established a string of "Kartini schools" across the island of Java, the schools funded through private contributions.
Kartini's beliefs and letters inspired many women and effected actual change in her native Java. Taking their example, women from other islands in the archipelago, such as Sumatra, also were inspired to push for change in their regions. The 1945 Constitution establishing the Republic of Indonesia guaranteed women the same rights as men in the areas of education, voting rights, and economy. Today, women are welcome at all levels of education and have a broad choice of careers. Kartini's contributions to Indonesian society are remembered in her hometown of Jepara at the Museum Kartini di Jepara and in Rembang, where she spent her brief married life, at the Museum Kartini di Rembang.
Pemikiran Raden Ajeng Kartini
Mengutip artikel Sejarah R.A.Kartini oleh Universitas Pakuan, pahlawan nasional tersebut banyak menulis surat-surat yang berisi pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.
Dia ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti yang tertulis dalam Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht,
Zelf-vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud itu, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya.
Itulah tadi informasi penting tentang Raden Ajeng Kartini yang perlu kamu tahu. Tentu warisan semangat pahlawan nasional ini harus diteruskan oleh generasi sekarang.
Baca Juga: 10 Poster Hari Kartini 2024, Menginspirasi dan Menarik!
Masa Kecil Kartini
Sejarah Raden Ajeng Kartini dimulai pada masa kecilnya.
Masa kecil Kartini terbilang cukup penuh lika-liku. Di usianya yang menginjak 12 tahun, ia baru diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School).
Di tempat ini ia mempelajari bahasa asing, salah satunya bahasa Belanda.
Karena kepandaiannya dalam berbahasa Belanda, ia mengisi waktu luang dengan belajar dan menulis surat untuk teman-teman Belandanya.
Salah satu teman masa kecil yang mendukungnya adalah Rosa Abendanon.
Isi surat yang disampaikan tersebut yakni berisi penindasan Belanda terhadap penduduk asli Pulau Jawa.
Praktik poligami dan ketidaksetaraan gender menjadi poin penting yang ia sampaikan.